Newest Post
// Posted by :Unknown
// On :Rabu, 13 Januari 2016
Dumping
Dumping adalah term
bisnis internasional yang diartikan sebagai praktik dagang yang mana penjualan
barang ekspor dengan harga lebih rendah dibandingkan dengan barang sejenis di
Negara asal barang. Tindakan ini sering diartikan sebagai tindakan unfair practice dalam perdangan internasional.
Dari definisi
tersebut di atas menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekspresikan
sebagai perbuatan curang karena penjualan produk-produk untuk ekspor pada harga
yang lebih rendah dari nilai normal.
Dalam Uruguay Round, pengertian
dumping memiliki dimensi yang baru, sebagai penyempurnaan dalam Artikel VI GATT
1994 yang dituangkan dalam Artikel 2, mengenai “Persetujuan tentang Pelaksanaan
Pasal VI GATT 1994” sebagai berikut:
“For purposes of this agreement, a product is to be considered as
being dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less than
its normal value, if the export price of the product exported from one country
to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade,
for the like product when destined for consumption in the exporting country”.
Adapun suatu barang/produk yang masuk secara dumping disebut ”barang
dumping”, hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP.34 Tahun 1994
tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, bahwa barang dumping
adalah barang yang diimpor dengan tingkat Harga Ekspor yang lebih rendah dari
Nilai Normalnya di negara pengekspor.
Dari pengertian di atas, Anti Dumping adalah
tindakan untuk mencegah, mengatur, menghilangkan praktik dagang internasional
yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan dari suatu negara (importer) dengan menerapkan harga yang lebih rendah
dari harga produksi di negara eksporter. Anti Dumping selanjutnya ditegaskan
dalam provisi resmi, yakni peraturan perundang-undangan baik dalam traktat
perjanjian internasional Artikel VI GATT 1994 yang diatur pula dalam hukum
nasional yakni dalam PP. 34 Tahun 1994.dan secara resmi di ratifikasi dalam UU
No 7/1994 serta disisip secara khusus dalam UU No 10/1995 tentang kepabeanan.
Regulasi Dumping dan No
Dumping
Menentukan suatu produk terkena dumping atau tidak bukanlah suatu
perkara mudah. Definisi standar memang mengacu pada nilai/harga barang di
negara import lebih rendah dibandingkan negara asalnya. Namun kriteri “lebih
rendah” ini harus bisa diperjelas dan diregulasi, baik untuk analisis per se maupun pure economic reason.
Di lain pihak, beberapa akademisi memahami term harga yang lebih rendah
di batasi pada term harga sewajarnya. Dalam artian, dumping terjadi ketika
harga jual di Negara import lebih rendah dari “harga sewajarnya”. Harga
sewajarnya adalah perbandingan dari barang yang dikategorikan sebagai “like product” di negara pengekspor dalam situasi
perdagangan yang normal (the ordinary course of trade).
Dalam hal ini, tidak terdapat harga pembanding di Negara pengekspor karena
alasan tertentu seperti rendahnya volume perdagangan barang tersebut di Negara
pengekspor, maka harga sewajarnya disesuaikan dengan harga barang ekspor produk
tersebut di Negara impor atau Negara ketiga.
Secara umum, suatu barang baru dikatakan barang dumping apabila memenuhi
tiga unsur, yaitu adanya kegiatan dumping yang LTFV (less than
fair price), adanya kerugian (injury), dan adanya
hubungan timbal balik antara dumping dan kerugian (causal link).
Seandainya terjadi dumping yang less than fair value tetapi
tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang WTO.
Tiga prasyarat ini
dijelaskan secara detail dalam Pasal VI GATT 1994.
Determination
of Dumping (Penentuan Dumping)
Penentuan dumping dalam artikel 2 Pasal VI GATT 1994 ini memuat tiga
kondisi untuk menentukan produk tersebut termasuk dumping atau tidak. Pertama, meneliti harga produk Negara impor dengan
Negara ekspor; kedua, membandingkan harga yang
paling umum dipakai di Negara ekspor dan disesuaiakan dengan harga umum
yang terdapat di Negara impor untuk produk serupa (like product). Dalam
konteks ini, ada kemungkinan harga produk di Negara impor lebih rendah daripada
di Negara ekspor. Namun, tetap dibatasi dan dilihat batas marginal harga produk
tersebut; ketiga, Bilamana tidak ada
harga dalam negeri pengimpor yang dapat dibanding-kan di negara pengekspor,
maka harga normal adalah ex factory price yang
berasal dari perhitungan harga produk sejenis di negara tersebut yang diekspor
ke negara ke tiga.
Menimbulkan Kerugian bagi Negara
Pengimport (Determination of injury)
Dalam Artikel VI GATT 1994, penentuan rugi tidaknya Negara
importer harus berdasarkan buktik yang pasti dan mencakup penjelasan
mengenai dua hal ini: (a) the volume of the dumped
imports and the effect of the dumped imports on prices in the domestic market
for like products, dan (b) the consequent impact of these
imports on domestic producers of such products.
Berdasarkan hal ini, maka penentuan kerugian (injury)
dapat dijelaskan sebagai berikut:[10]
·
Produk dari suatu negara yang
diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah harga
normal (less than normal value) atau disebut dengan “less than fair value” (LTFV).
·
Akibat dari diskriminasi harga tersebut
yang menimbulkan kerugian material terhadap industri yang telah berdiri atau
menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.
·
Adanya hubungan kausal antara penjual
barang impor yang LTFV dengan kerugian yang diderita oleh negara pengimpor
Berdasarkan Article 3.1 dan Article 3.4 Penentuan kerugian harus berdasarkan
pada bukti dan pengujian atas:
1. Kausalitas,
yaitu:
1.
Efek volume barang dumping terhadap
volume sejenis di pasar dalam negeri
2.
Efek harga barang dumping terhadap
harga barang sejenis di dalam negeri
2. Kerugian
industri dalam negeri (impact barang dumping terhadap industri dalam negeri).
Pengujian adanya karugian industri dalam negeri, meliputi faktor-faktor
berikut:
1.
Penurunan penjualan dalam negeri :
2.
Penurunan keuntungan
3.
Penurunan output (produksi)
4.
Penurunan market share
Sementara itu,
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) juga menentukan indikator-indikator
kerugian yang diderita Negara impor, antara lain:
1.
Penurunan penjualan dalam negeri;
2.
Penurunan keuntungan;
3.
Penurunan output (produksi);
4.
Penurunan market share;
5.
Penurunan produktivitas;
6.
Penurunan utilisasi kapasitas
produksi;
7.
Gangguan terhadap return of
investment;
8.
Gangguan terhadap harga dalam negeri;
9.
The magnitude of dumping margin;
10. Perkembangan cash flow yang negatif;
11. Inventory meningkat;
12. Pengurangan tenaga kerja/penurunan gaji, PHK;
13. Gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan;
14. Gangguan terhadap investasi;
15. Gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal.
Pada dasarnya,
sesuai ketentuan Artikel VI GATT 1994, dua unsur ini harus dipenuhi. Jika hanya
salah satu unsur yang dipenuhi, maka produk impor tersebut tidak
termasuk/dianggap produk dumping.
Pajak
dan Cukai untuk Produk Dumping
Larangan praktik dumping yang telah disetujui oleh Negara-negara anggota
WTO tentu berimplikasi pada akibat atas pelanggaran terhadap perjanjian
tersebut. UU No 10. Tahun 1995 tentang kepabeanan terutama bab IV yang berjudul
“Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan”, termasuk Bagian Pertama
bersubjudul “Bea Masuk Antidumping” dan diatur secara resmi dalam Pasal 18,
pasal 19, dan pasal 20, antara lain sebagai berikut:
Pasal
18
Bea
Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal:
1.
harga ekspor dari barang tersebut lebih
rendah dari nilai normalnya; dan
2.
impor barang tersebut:
3.
menyebabkan kerugian terhadap industri
dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
4.
mengecam terjadinya kerugian terhadap
industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
dan
5.
menghalangi pengembangan industri
barang sejenis di dalam negeri.
Pasal
19
(1) Bea
Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga
ekspor dari barang tersebut.
(2) Bea
Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari
Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).
Pasal
20
Ketentuan
tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta
penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia
dalam mengatasi kecenderungan dumping yang dilakukan Negara-negara partner
perdagangan internasional. Ketentuan ini juga tentu penting untuk melindungi
produsen-produsen dalam negeri dari predatory pricing yang
mungkin timbul dari politik dumping. Di beberapa Negara seperti Amerika serikat
dan Inggris, ketentuan untuk menetapkan pajak yang tinggi tak tanggung-tanggung
diberikan kepada produk-produk dumping (terutama barang-barang eksporter
China).
Contoh Kasus Dumping
Salah satu kasus
yang terjadi antar anggota WTO yaitu kasus antara Korea Selatan dan Indonesia,
dimana Korsel menuduh Indonesia melakukan dumping Woodfree Copy
Paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.
Pada mulanya harga
produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas Korsel tidak dapat
memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk kertas
Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan
harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi/nilai
substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas Korsel,
hal ini disebut juga dengan “Like Product”. Karena hal inilah maka produk
kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas
produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan
Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia,
untuk melindungi produk dalam negeri nya.
Produk kertas Indonesia yang dikenai
tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam
kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or
other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other
copying atau transfer paper.
Kasus ini bermula
ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap
produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30
September 2002. Dan pada 9 Mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping
Sementara (BMADS) dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar
51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya
sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BMAD terhadap produk
kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk,
PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dan untuk April Pine
dan lainnya 2,80%.
Dan akibat adanya tuduhan
dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor Woodfree Copy
Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS,
turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003. Dan Indonesia mengadukan masalah
ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun
konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan
Refrensi
:
https://bebellarizki.wordpress.com/2015/05/24/ekonomi-internasional-contoh-kasus-dalam-ekonomi-internasional-kasus-dugaan-dumping-terhadap-ekspor-produk-kertas-indonesia-ke-korea/